Hal yang paling dikritik dari video game adalah dampaknya yang bisa membuat kecanduan. Pada dasarnya permainan itu dapat menjadikan orang berperilaku kompulsif, tak acuh pada kegiatan lain, dan memunculkan gejala aneh, seperti rasa tak tenang saat keinginan bermain tidak terpenuhi.
Seorang pakar adiksi video game, Mark Griffiths dari Nottingham Trent University, mengungkapkan bisa saja game membuat orang lebih bermotivasi. “Video game abad ke-21 dalam beberapa segi lebih memberi kepuasan psikologis daripada game tahun 1980-an. Ketergantungan semacam itu dapat memicu perilaku menyim “Perhatikan apakah anak bermain seharian, sering bermain dalam jangka waktu lama [lebih dari tiga jam].” Selain itu, tambahnya, perhatikan apakah mereka main untuk kesenangan, cenderung seperti tak kenal lelah dan mudah tersinggung saat dilarang. Apakah mereka mengorbankan kegiatan sosial dan olahraga, enggan mengerjakan PR, dan ingin mengurangi ketergantungannya tapi tak bisa. Jika anak mengalami lebih dari empat gejala dari keseluruhan yang telah disebutkan, bisa disimpulkan bahwa anak Anda mungkin sudah terlalu banyak menghabiskan waktu untuk bermain video games.” Satu gejala terpapar secara berlebihan yang juga bisa dilihat orangtua adalah kekakuan pada gerakan anak.
Hal ini mengingat saat ini 40% rumah keluarga di Inggris mempunyai komputer yang memperbesar peluang anak untuk bermain dengan perangkat elektronik itu. Tapi meskipun demikian, kata Griffiths, orangtua masih dapat melakukan sejumlah hal. Sejak dari memberi anak permainan yang lebih mendidik daripada sekadar mempertontonkan kekerasan, mendorong bermain video game secara berkelompok, dan membatasi waktu main game-nya setelah mengerjakan PR. “Yang tak kalah penting adalah mengingatkan anak untuk mematuhi panduan yang disarankan pabrik, seperti duduk setidaknya 50 cm dari monitor, ruangnya cukup pencahayaan dan tak menyetel layar terlalu terang,” ujarnya menambahkan jika beragam upaya itu gagal mainan itu harus diambil.
Menyangkut dimensi komputer meja yang kebanyakan lebih sesuai dengan postur orang dewasa, kata dia, tidak membuat anak menyerah begitu saja. “Hasil pemaksaan postur ini menjadi salah satu sebab utama repetitive strain injury (RSI) atau nyeri sendi di kalangan anak-anak.” Menurut Bunny Martin, direktur Body Action Campaign, RSI ini kemungkinan berkembang menjadi kecacatan pada anak bila tidak ditangani sejak dini. “Anak usia tujuh tahun bisa saja mengidap RSI karena terlalu sering menggunakan komputer baik di rumah maupun sekolah.” Di sejumlah kelas yang anaknya kebanyakan berusia 11 tahun, Bunny menemukan lebih dari separuh muridnya telah kena gejala awal RSI. Dia mengisahkan satu bocah pria dari Peckham, dekat London, yang setiap malam mesti merendam tangannya di air dingin guna meredam nyeri pada ibu jarinya.
Bunny menambahkan kebanyakan game dirancang sedemikan rupa agar anak penasaran dan mengejar nilai tinggi. “Dan kondisi ini sering membuat anak lupa bahkan untuk sekadar berhenti sejenak.” Kenyataan ini, menurutnya, mengharuskan orangtua dan guru agar lebih waspada. Menurutnya, sejumlah anak bahkan tidak dapat masuk sekolah karena rasa nyeri yang dialami tidak memungkinkan anak untuk belajar dan berkelakuan menyimpang seperti mencuri uang untuk membeli game baru, bolos sekolah, keengganan mengerjakan pekerjaan rumah (PR), atau rasa tak tenang saat tidak dapat bermain.
Selain itu, games juga dapat dioperesikan di berbagai sistem operasi, seperti Windows maupun Linux. Hal itulah yang saat ini dikhawatirkan oleh para orang tua pelajar dan mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar